Beranda | Artikel
Ancaman Bagi Orang Yang Tertipu Dengan Dunia
Senin, 15 Juni 2020

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary

Ancaman Bagi Orang Yang Tertipu Dengan Dunia adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Aktualisasi Akhlak Muslim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary pada Senin, 23 Syawwal 1441 H / 15 Juni 2020 M.

Ceramah Agama Islam Tentang Ancaman Bagi Orang Yang Tertipu Dengan Dunia

Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya telah menjelaskan hakikat dunia yang fana ini. Maka tidak selayaknya seorang hamba mukmin bersikap tamak ataupun rakus terhadap dunia dan atau bahkan tenggelam dalam kenikmatannya. Di dalam Al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi telah banyak ancaman-ancaman yang sangat dahsyat bagi orang-orang yang terlena dengan kehidupan dunia dan lalai terhadap ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala, nilai-nilai agama dan pertemuan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ini semua karena bahaya dari dunia itu bukan hanya dialami oleh seorang mukmin di dunia, bahkan nanti berlanjut ketika ia berada di alam-alam berikutnya. Dunia hanya menjadi beban yang berat yang harus dia pikul pertanggungjawabannya di akhirat.

Di dunia, orang-orang yang mengejar dunia juga mendapatkan kepedihan dan dan rasa sakit dari dunia itu sendiri. Karena dunia itu sifatnya memperdaya dan menipu, kenikmatan sesaat yang kemudian berganti dengan kepedihan. Dan cukuplah perpisahan dengan dunia itu merupakan kepedihan yang sangat berat bagi orang-orang yang mencintainya.

Perpisahan dengan duani adalah sesuatu yang pasti terjadi. Kita akan pergi. Harta benda ataupun dunia itu pun juga akan pergi. Tinggallah kita seorang diri berpisah dengan dunia tersebut. Dan ini akan melahirkan rasa pedih yang mendalam.

Oleh karena itu seorang mukmin senantiasa melihat apa yang ada dibalik kehidupan dunia. Karena dia yakin dunia hanya sementara, dia akan pergi, dia akan melangkah ke alam berikutnya. Maka apa yang dia persiapkan adalah bagaimana menyiapkan kebahagiannya nanti di alam berikutnya, yaitu alam barzakh dan alam akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا وَرَضُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاطْمَأَنُّوا بِهَا وَالَّذِينَ هُمْ عَنْ آيَاتِنَا غَافِلُونَ ﴿٧﴾ أُولَـٰئِكَ مَأْوَاهُمُ النَّارُ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ ﴿٨﴾

Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Yunus[10]: 7-9)

Orang-orang yang lebih memilih dunia daripada akhiratnya, dia larut tenggelam dalam kenikmatan dunia yang mana kenikmatan dunia ini ada konsekuensinya, yaitu kita harus melepas sebagian dari akhirat kita, kadang-kadang kita harus melepas nilai-nilai agama karena kenikmatan dunia dan itu adalah satu pilihan yang akan dihadapkan kepada kita ketika kita mengejar kenikmatan dunia itu seperti yang telah kita jelaskan sebelumnya. Ketika seorang hamba memilih dunia, pasti ada akhirat yang harus dia korbankan.

Dan hamba ini merasa puas dengan kehidupan dunia dan merasa tentram dengan kehidupan dunia itu. Seolah-olah dia tidak akan beranjak dari dunia dan tetap berada di dunia ini.

Demikian pula dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَفَرَأَيْتَ إِن مَّتَّعْنَاهُمْ سِنِينَ ﴿٢٠٥﴾ ثُمَّ جَاءَهُم مَّا كَانُوا يُوعَدُونَ ﴿٢٠٦﴾مَا أَغْنَىٰ عَنْهُم مَّا كَانُوا يُمَتَّعُونَ ﴿٢٠٧﴾

Maka bagaimana pendapatmu jika mereka Kami berikan kenikmatan dunia beberapa tahun” (QS. Asy-Syu’ara[26]: 205)

Ini satu ungkapan yang menohok kita bahwa kalaupun kita diberikan di dunia itu, itu hanya beberapa tahun saja. Terlebih lagi kita umat terakhir yang jatah hidupnya dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam 60 sampai 70 tahun. Singkat dan sesaat.

Kemudian datang kepada mereka adzab yang diancamkan kepada mereka.” (QS. Asy-Syu’ara[26]: 206)

Datang ancaman itu; mulai dari kematian yang ada di hadapan mata, fitnah kubur yang akan dijalani oleh setiap insan, dan akhirat itu lebih berat dan lebih dahsyat berupa pertanggungjawaban adzab dan siksa dan lain sebagainya. Seperti yang kita ketahui, perjalanan akhirat itu adalah perjalanan yang lebih panjang daripada perjalanan dunia kita.

Niscaya tidak berguna bagi mereka kenikmatan yang selama ini telah mereka rasakan.” (QS. Asy-Syu’ara[26]: 207)

Di dalam hadits, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menejelaskan tentang bagaimana cepatnya hilang kenikmatan dunia itu pada diri seseorang. Akan dibawa nanti seorang hamba yang paling nikmat hidupnya di dunia yang ternyata dia adalah penghuni neraka. Kemudian dia dicelupkan satu kali celupan saja ke dalam neraka. Ini orang yang paling nikmat hidupnya di dunia. Lalu dikeluarkan kembali dan ditanyakan kepadanya: “Wahai Fulan, apakah engkau pernah melihat dan merasakan kenikmatan itu?”

Maka dia menjawab: “Ya Allah.. Demi Allah aku tidak pernah merasakan kenikmatan itu sama sekali.”

Ini baru satu kali celupan saja ke dalam neraka. Satu celupan saja sudah menghilangkan semua kenikmatan-kenikmatan yang dulu pernah dia rasakan. Sama sekali tidak berguna baginya dan tidak dia ingat lagi. Begitulah perbandingan antara sengsara dunia dan sengsara akhirat, nikmat dunia dan nikmat akhirat.

Adapun nikmat dunia dibandingkan dengan nikmat akhirat, itu sudah dijelaskan juga oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam hadits yang lain.

“Demi Allah.. perbandingan antara nikmat dunia dengan nikmat akhirat seperti salah seorang dari kamu mencelupkan jarinya kedalam lautan kemudian dia menciduknya.”

Coba lihat, apa yang dia bisa ambil dengan jarinya dari air laut itu? Sangat sedikit. Begitulah perbandingan antara nikmat dunia dan nikmat akhirat.

Oleh karena itu orang yang paling sengsara hidupnya di dunia ternyata dia adalah seorang penghuni surga. Kemudian dia dimasukkan sesaat saja kedalam surga lalu dikeluarkan lagi. Kemudian ditanyakan kepadanya: “Apakah engkau pernah merasakan kesengsaraan?” Maka dia menjawab: “Tidak Ya Rabb, aku tidak pernah merasakan kesengsaraan itu.”

Nikmat akhirat, sesaat saja itu menghilangkan kesengsaraan sepanjang hayat. Orang ini mungkin sengsara hidupnya sepanjang hayat. Mungkin dia tidak pernah merasakan kenikmatan di dunia. Tapi ketika dia dimasukkan kedalam surga, maka hilang segala kesengsaraan yang pernah dulu dia rasakan selama di dunia.
Hadits itu benar-benar menjadi hiburan bagi kita merasa hidupnya sengsara di dunia. Bahwa kesengsaraan di dunia itu akan sirna, pergi dan berakhir. Berbeda dengan kesengsaraan di akhirat, itu tidak akan pernah berakhir. Demikian pula nikmat dunia akan pergi dan hilang, sementara kenikmatan akhirat tidak akan pergi dan hilang. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:

وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ ﴿١٧﴾

Adapun akhirat lebih baik dan lebih kekal.” (Al-A’la[87]: 17)

Jadi kenikmatannya tidak akan berakhir. Adapun dunia pasti akan berakhir nikmatnya maupun kesengsaraannya.

Bagi siapa saja yang merasa hidupnya sengsara, merasa nasibnya kurang beruntung, padahal sebenarnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membagi secara adil nikmat-nikmatNya. Tapi ada orang yang merasa seperti itu. Dia tidak perlu bersedih hati, selama dia beriman kepada Allah dan hari akhirat, sungguh akhirat itu adalah hiburan baginya. Bahwa dengan imannya kepada Allah, dengan kepercayaannya kepada Allah dan RasulNya, itu akan membawanya kepada kenikmatan yang akan menghilangkan segala kesengsaraan yang pernah dia rasakan.

Bagaimana seharusnya seorang hamba itu hidup di dunia?

Oleh karena itu juga Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyampaikan di dalam hadits-hadits beliau perumpamaan-perumpamaan tentang dunia dan akhirat. Bagaimana seharusnya seorang hamba itu hidup di dunia. Seperti satu hari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memegang pundak Ibnu Umar dan berkata kepadanya:

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابرُ سَبِيْلٍ

“Jadilah kamu di dunia ini bagaikan orang asing, yaitu seorang musafir.”

Dia adalah orang asing di satu tempat yang tentunya dia tidak akan berpikir untuk berada terus di tempat yang asing itu, dia akan kembali ke kampung halamannya. Seperti kata orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang, kira-kira demikian ungkapannya.

Seorang mukmin percaya dan sadar bahwa kampung halamannya bukan dunia, kampung halamanya adalah surga dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menempatkan ibu bapak manusia (Adam dan istrinya) di dalam surga tersebut, itulah dia kampung halaman kita dan kita sedang dalam perjalanan kembali, mudik ke kampung halaman itu. Dan kita benar-benar gharib (asing) dari semua sisi. Dan kita mendudukkan posisikan diri kita sebagai orang yang asing di dunia ini.

أَوْ عَابرُ سَبِيْلٍ

“Atau seperti seorang yang sedang melintas.”

Artinya kita akan pergi. Ini bukan terminal akhir, ini cuma terminal bayangan ataupun tempat sementara untuk beristirahat. Seperti kita melakukan satu travelling yang kita tiba di tempat peristirahatan atau rest area. Di sana kita menghilangkan penat sejenak kemudian kita mencicipi makanan-makanan yang ada di rest area itu, tapi tentunya kita tidak akan terus berada di tempat itu, kita akan melanjutkan perjalanan. Bagaimanapun enaknya rest area itu, tentunya itu bukan tujuan kita. Kita akan melanjutkan perjalanan terus.

Seperti diungkapkan juga dalam satu riwayat yang dinisbatkan kepada Isa bin Maryam: “Jadilah kamu di dunia seperti orang yang menyeberangi jembatan.” Tentunya kamu akan melintas, menyeberangi jembatan itu, tidak berniat untuk tinggal di atas jembatan atau di bawah kolong jembatan. Demikianlah keadaan dan kedudukan seorang mukmin di dunia. Jadilah kamu di dunia seperti orang yang asing, seorang musafir atau seorang yang sedang melintas.

Oleh karena itu sungguh indah perkataan Imam Nawawi ketika mensyarah hadits ini, beliau mengatakan: “Jangan terlalu condong kepada dunia.” Memang kita perlu dunia, tapi jangan berlebihan dan larut di dalamnya. Dan jangan menjadikannya sebagai tempat tinggal abadi. Dan janganlah berangan-angan untuk tinggal lama di dalamnya. Kita tidak tahu, sementara ajal seseorang lebih dekat daripada tali sandalnya. Dan jangan terlalu sibuk mengurusnya. Mengurus dunia, iya. Karena kita di dunia. Tapi terlalu sibuk mengurusnya sehingga menghabiskan waktu kita di situ bahkan sampai tidak terpikir sedikitpun untuk akhirat, ini yang tercela. Orang-orang yang lupa dan tidak menjadikan akhirat sebagai yang utama. Sementara di dalam ayat, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّـهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ…

Carilah akhirat dengan dunia yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadamu…” (QS. Al-Qashash[28]: 77)

Jadi dunia memang dijadikan sebagai pijakan untuk meraih kenikmatan dan kedudukan yang tinggi di akhirat. Dunia adalah peluang untuk meraih kedudukan dan kenikmatan yang lebih tinggi di akhirat nanti.

Janganlah terikat dengannya kecuali seperti keterikatan seorang musafir pada negeri yang disinggahinya. Tentunya seorang musafir terikat dengan negeri yang ditujunya, bukan negeri yang disinggahinya. Dia perlu singgah di situ untuk menyampaikannya kepada tujuannya. Seperti kita perlu sejenak beristirahat di tempat peristirahatan supaya kita bisa melanjutkan perjalanan dengan nyaman dan aman sampai ke tujuan.

Jangan menyibukkan diri di dalamnya dengan kesibukan yang seorang musafir tidak menyibukkan diri dengannya. Tidak mungkin kita berbelok ke rest area kemudian kita pikirkan untuk membangun rumah atau tidur lama di situ. Karena dia ingin segera kembali kepada keluarganya. Apa kita tidak rindu dengan keluarga-keluarga yang lebih dahulu mendahului kita? Allah menjanjikan kepada orang yang beriman bahwa mereka akan dikumpulkan bersama anak cucu mereka dan bersama orang-orang yang mereka kasihi nanti di kampung akhirat, tempat yang abadi. Dimana mereka tidak akan lagi berpisah dengan orang-orang yang mereka kasihi. Kalaulah seandainya kita diberi 1000 tahun hidup di dunia, itu akan menjadikan kepedihan bagi kita. Yaitu dengan berpisah terus menerus dengan orang-orang yang kita cintai. Berapa banyak orang-orang yang kita cintai pergi lebih dulu dari kita. Dan perpisahan itu tentunya menyakitkan dan menyedihkan. Kalau kita terus di dunia ini dan kita terus berpisah dengan orang-orang yang kita cintai, tentunya itu sangat menyedihkan dan menyakitkan sebagaimana sedih dan pilunya kita berpisah dengan mereka. Kalau kita terus-menerus di sini, kita akan terus menerus merasakan kepedihan yang tidak berujung. Maka ada tempat dimana kita tidak akan berpisah lagi dengan orang-orang yang kita kasihi, itulah dia kampung akhirat. Seorang musafir tentunya ingin segera berkumpul kembali kepada keluarganya.

Simak pembahasan yang penuh manfaat pada menit ke-21:07

Download MP3 Kajian Ancaman Bagi Orang Yang Tertipu Dengan Dunia

Download mp3 yang lain tentang Aktualisasi Akhlak Muslim di sini.


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48572-ancaman-bagi-orang-yang-tertipu-dengan-dunia/